Sabtu, 08 Januari 2011

PENGANTAR LOGIKA

Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur
Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Logika juga dapat didefinisikan sebagai penalaran yang lurus untuk membedakan sesuatu pemikiran yang benar dengan yang salah.
Sejarah Logika
Masa Yunani Kuno
Logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta.
Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.
Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu.
Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari:
• Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)
• Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia
• Air jugalah uap
• Air jugalah es
Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta.
Sejak saat Thales sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini.
Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica , yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme.
Buku Aristoteles to Organon (alat) berjumlah enam, yaitu:
1. Categoriae menguraikan pengertian-pengertian
2. De interpretatione tentang keputusan-keputusan
3. Analytica Posteriora tentang pembuktian.
4. Analytica Priora tentang Silogisme.
5. Topica tentang argumentasi dan metode berdebat.
6. De sohisticis elenchis tentang kesesatan dan kekeliruan berpikir.
Pada 370 SM - 288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangn logika.
Istilah logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno dari Citium 334 SM - 226 SM pelopor Kaum Stoa. Sistematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130 M - 201 M) dan Sextus Empiricus 200 M, dua orang dokter medis yang mengembangkan logika dengan menerapkan metode geometri.
Porohyus (232 - 305) membuat suatu pengantar (eisagoge) pada Categoriae, salah satu buku Aristoteles.
Boethius (480-524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius ke dalam bahasa Latin dan menambahkan komentar- komentarnya.
Johanes Damascenus (674 - 749) menerbitkan Fons Scienteae.
Abad pertengahan dan logika modern
Pada abad 9 hingga abad 15, buku-buku Aristoteles seperti De Interpretatione, Eisagoge oleh Porphyus dan karya Boethius masih digunakan.
Thomas Aquinas 1224-1274 dan kawan-kawannya berusaha mengadakan sistematisasi logika.
Lahirlah logika modern dengan tokoh-tokoh seperti:
• Petrus Hispanus 1210 - 1278)
• Roger Bacon 1214-1292
• Raymundus Lullus (1232 -1315) yang menemukan metode logika baru yang dinamakan Ars Magna, yang merupakan semacam aljabar pengertian.
• William Ocham (1295 - 1349)
Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh Thomas Hobbes (1588 - 1679) dengan karyanya Leviatan dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay Concerning Human Understanding
Francis Bacon (1561 - 1626) mengembangkan logika induktif yang diperkenalkan dalam bukunya Novum Organum Scientiarum.
J.S. Mills (1806 - 1873) melanjutkan logika yang menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya System of Logic
Lalu logika diperkaya dengan hadirnya pelopor-pelopor logika simbolik seperti:
• Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar berdasarkan Ars Magna dari Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih mempertajam kepastian.
• George Boole (1815-1864)
• John Venn (1834-1923)
• Gottlob Frege (1848 - 1925)
Lalu Chares Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di John Hopkins University,melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan dalil Peirce (Peirce's Law) yang menafsirkan logika selaku teori umum mengenai tanda (general theory of signs)
Puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid yang merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861 - 1914) dan Bertrand Arthur William Russel (1872 - 1970).
Logika simbolik lalu diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt Godel (1906-1978), dan lain-lain.








TENTANG KEBENARAN
DEFINISI
Logika pada dasarnya merupakan metode penalaran yang lurus dan benar. Untuk itu kita harus tahu makna / definisi dari kebenaran . Kebenaran merupakan persamaan antara ide dengan realitas, oleh karena itu kebenaran pasti di dapat dari ilmu pengetahuan yang terdapat dalam ide dalam menafsirkan realitas ( mengenai ilmu pengetahuan dapat di bahas dalam materi epistemology ).
SYARAT – SYARAT KEBENARAN
Kebenaran harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
• Universal
• Objektif
• Argumentatif
• Ilmiah
SUMBER ILMU PENGETAHUAN
1. Empirisme
Sumber pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain atau peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Pengetahuan semacam ini disebut dengan empirisme ( asal kata : empiric = pengalaman )
2. Materialisme
Empirisme biasanya bersifat material walaupun ada empirisme non material yang juga diperdebatkan karena ada yang berpendapat empirisme non material hanya bersifat personal dan tentu saja subjekif. Maka turunan dari empirisme adalah materialisme ( asal kata : materi ) yang berarti kebenaran hanya bisa didapatkan dari pengetahuan panca indera. Materialisme menolak non materi sebagai kebenaran .
3. Skriptualisme
Kebenaran di dapat dari teks-teks tertulis. Kebenaran menurut skriptualisme adalah harus terdokumentasi yang berasal dari authorisme yang tidak perlu di bantah lagi
4. Rationalisme
Kebenaran di dapat berdasarkan penalaran pertimbangan akal budi. Menerima pengetahuan Empirisme , Materialisme , dan Skriptualisme selama ada penjelasan yang sesuai dengan akal budi / rasio.
PRIMA PRINCIPIA
Dalam rationalisme ada yang disebut dengan prinsip umum / Prima Principia yaitu :
1.Prinsip identitas
Menyatakan bahwa sesuatu adalah sesuatu itu sendiri
2. Prinsip nonkontradiksi
Merupakan penegasan dari prinsip identitas bahwa sesuatu itu tidak mungkin berada di luar dirinya.
3. Prinsip menolak jalan tengah
Merupakan konsekuensi dari prinsip sebelumnya yaitu prinsip identitas dan nonkontradiksi sehingga tidak mungkin sesuatu mempunyai dua identitas dalam konteks dan dimensi yang sama.
4. Prinsip sebab akibat
Merupakan prinsip tambahan yang menyatakan bahwa setiap akibat pasti bergantung mutlak terhadap sebab yang cukup.

LOGIKA FORMAL VS DIALEKTIKA
Logika formal yang bersandar pada prima principia mendapat tantangan dari pemikiran yang bersandar pada DIALEKTIKA.
Berasal dari kata dialog yang pertama kali digunakan oleh Plato. Dialektika kemudian dikenal lewat G.W. F. Hegel dengan dialektika idealismenya kemudian menginspirasi Karl Marx dan F. Engels dalam mengembangkan kebalikan dari dialektika idealisme yaitu dialektika materialisme.
Dialektika memandang kebenaran berasal dari pertentangan-pertentangan atau Hegel menyebutnya negasi dari negasi ( nantinya lebih lanjut Hegel menjelaskan pertentangan kuantitas dan kualitas yang menghasilkan kebenaran baru ). Pertentangan – pertentangan muncul dari unsur-unsur sbb :
1. Thesis
2. Antithesis
3. Sinthesis

Sehingga menurut dialektika, kebenaran yang utuh di dapat dari proses pertentangan atau yang Hegel sebut sebagai filsafat proses. THESIS merupakan kebenaran parsial awal atau identitas awal dari objek, tapi bukan merupakan kebenaran yang utuh karena thesis akan berproses yang dapat di negasikan / di tiadakan oleh indentitas baru disebut dengan ANTITHESIS. Antithesis kemudian akan mengalami proses yang sama di negasikan menjadi kebenaran baru yang disebut dengan SINTESIS. Sintesis inilah yang diasumsikan oleh Hegel sebagai kebenaran yang utuh atau kebenaran final.
Pemikiran dialektika yang seperti ini nantinya akan dijadikan landasan bagi C. Darwin dalam menyusun teori Evolusinya yang juga akan menginspirasi A. Hitler dalam landasan pemikiran Fasisme ( dituangkan dalam Mein Kampf part 1 dan 2 ).
Dialektika jelas melawan logika formal ( prima principia ) yang bersumber dari organon nya Aristoteles karena menolak keabsahan prinsip identitas sebagai kebenaran final. Prima principia dengan tegas memisahkan identitas yang berseberangan atau pertentangan-pertentangan ( prinsip nonkontradiksi ) tetapi bagi dialektika dari pertentangan-pertentanganlah kebenaran utuh dapat dihasilkan.

KRITIK TERHADAP DIALEKTIKA
Pandangan dialektika tidak menyentuh pada hakekat sebagaimana filsafat pada umumnya, karena hakekat kebenaran harus lah universal dan pastinya mempunyai identitas sendiri. Bagaimana mungkin sesuatu yang universal yang berbeda kemudian di pertentangkan untuk menghasilkan kebenaran baru ? tetapi dialektika sendiri bagi penganutnya di klaim universal dan objektif, padahal dialektika hanya menyentuh pada persoalan materi atau hanya pada permukaan filsafat, Mudahnya dialektika ditafsirkan / diterjemahkan dalam berbagai aspek justru menimbulkan multitafsir yang menimbulkan pertentangan dalam dirinya dengan adanya Dialektika Idealis bertentangan dialektika materialis. Kemudian jika kebenaran di dapat dari pertentangan – pertentangan berarti tidak ada jaminan kebenaran atau pernyataan dari paham dialektika tersebut merupakan kebenaran karena harus di pertentangkan lagi. Sehingga sebenarnya Sintesis yang seharusnya menjadi kebenaran final bisa menjadi thesis baru yang akan dipertentangkan lagi dan seterusnya berproses seperti itu, berarti kebenaran final menjadi absurd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar